Cari Blog Ini

Selasa, 29 Desember 2009

AL-IMAM MUHAMMAD AL-BAQIR

AL-IMAM MUHAMMAD AL-BAQIR
(Al-Imam Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW)
Beliau adalah Al-Imam Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Digelari Al-Baqir (yang membelah bumi) karena kapasitas keilmuan beliau yang begitu mendalam sehingga diibaratkan dapat membelah bumi dan mengeluarkan isinya yang berupa pengetahuan-pengetahuan. Nama panggilan beliau adalah Abu Ja'far.
Al-Imam Ibnu Al-Madiny meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah (semoga Allah meridhoi mereka berdua) bahwasannya Jabir berkata kepada Imam Muhammad Al-Baqir yang pada waktu itu masih kecil, "Rasulullah SAW mengirimkan salam untukmu." Beliau bertanya, "Bagaimana hal itu bisa terjadi?." Jabir menjawab, "Pada suatu hari saya sedang duduk bersama Rasulullah SAW, sedangkan Al-Husain (cucu beliau) lagi bermain-main di pangkuan beliau. Kemudian Rasulullah SAW berkata, 'Pada suatu saat nanti, dia (yaitu Al-Husain) akan mempunyai seorang putra yang bernama Ali (Zainal Abidin). Jika hari kiamat datang, akan terdengar seruan, 'Berdirilah wahai pemuka para ahli ibadah.' Maka kemudian putranya (yaitu Ali-Zainal Abidin) itu akan bangun. Kemudian dia (yaitu Ali Zainal Abidin) akan mempunyai seorang putra yang bernama Muhammad. Jika engkau sempat menjumpainya, wahai Jabir, maka sampaikan salam dariku.' "

Beliau, Muhammad Al-Baqir, adalah keturunan Rasul SAW dari jalur ayah dan ibu. Beliau adalah seorang yang berilmu luas. Namanya menyebar seantero negeri. Ibu beliau adalah Ummu Abdullah, yaitu Fatimah bintu Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau dilahirkan di kota Madinah pada hari Jum'at, 12 Safar 57 H, atau 3 tahun sebelum gugurnya ayahnya, Al-Imam Al-Husain.
Dari sebagian kalam mutiara beliau adalah, "Tidaklah hati seseorang dimasuki unsur sifat sombong, kecuali akalnya akan berkurang sebanyak unsur kesombongan yang masuk atau bahkan lebih." "Sesungguhnya petir itu dapat menyambar seorang mukmin atau bukan, akan tetapi tak akan menyambar seorang yang berdzikir." "Tidak ada ibadah yang lebih utama daripada menjaga perut dan kemaluan."
"Seburuk-buruknya seorang teman itu adalah seseorang yang hanya menemanimu ketika kamu kaya dan meninggalkanmu ketika kamu miskin." "Kenalkanlah rasa kasih-sayang di dalam hati saudaramu dengan cara engkau memperkenalkannya dulu di dalam hatimu." Beliau jika tertawa, beliau berkata, "Ya Allah, janganlah Engkau timpakan murka-Mu kepadaku."
Beliau adalah seorang yang mencintai dua orang yang agung, yaitu Abubakar dan Umar (semoga Allah meridhoi mereka berdua). Diantara kalam mutiara beliau yang lain, saat beliau berkata kepada putranya, "Wahai putraku, hindarilah sifat malas dan bosan, karena keduanya adalah kunci setiap keburukan. Sesungguhnya engkau jika malas, maka engkau akan banyak tidak melaksanakan kewajiban. Jika engkau bosan, maka engkau tak akan tahan dalam menunaikan kewajiban."
Di antara kalam mutiara beliau yang lain, "Jika engkau menginginkan suatu kenikmatan itu terus padamu, maka perbanyaklah mensyukurinya. Jika engkau merasa rejeki itu datangnya lambat, maka perbanyaklah istighfar. Jika engkau ditimpa kesedihan, maka perbanyaklah ucapan 'Laa haula wa laa quwwata illaa billah'. Jika engkau takut pada suatu kaum, ucapkanlah, 'Hasbunallah wa ni'mal wakiil'. Jika engkau kagum terhadap sesuatu, ucapkanlah, 'Maa syaa'allah, laa quwwata illaa billah'. Jika engkau dikhianati, ucapkanlah, 'Wa ufawwidhu amrii ilaallah, innaallaha bashiirun bil 'ibaad'. Jika engkau ditimpa kesumpekan, ucapkanlah, 'Laa ilaaha illaa Anta, Subhaanaka innii kuntu minadz dzolimiin.' "
Beliau wafat di kota Madinah pada tahun 117 H (dalam riwayat lain 114 H atau 118 H) dan disemayamkan di pekuburan Baqi', tepatnya di qubah Al-Abbas disamping ayahnya. Beliau berwasiat untuk dikafani dengan qamisnya yang biasa dipakainya shalat. Beliau meninggalkan beberapa orang anak, yaitu Ja'far, Abdullah, Ibrahim, Ali, Zainab dan Ummu Kultsum. Putra beliau yang bernama Ja'far dan Abdullah dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Farwah bintu Qasim bin Muhammad bin Abubakar Ash-Shiddiq.
Radhiyallohu anhu wa ardhah...
[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]
KAJIAN KETUJUH
Berkata Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad, "Tidak akan pernah kosong suatu jaman daripada para tokoh utama Bani Alawy, sampai nanti datangnya Al-Imam Mahdi yang dijanjikan. Mereka ada yang suka menyendiri dan tertutup keadaannya, namun ada juga yang sering terlihat di antara manusia dan terkenal." Beliau kemudian melanjutkan, "Terkadang Allah mengumpulkan pada sebagian orang-orang khusus ilmu-ilmu dhahir dan bathin1, serta menganugerahkan kepadanya keahlian untuk memberikan kemanfaatan buat kalangan khusus dan kalangan umum. Allah juga menganugerahkan ilmu tentang syariah, ilmu thariqah dan ilmu haqiqah2. Anugerah-anugerah tersebut biasanya diberikan kepada sekelompok orang dari salafus sholeh. Anugerah-anugerah tersebut juga diberikan kepada sekelompok orang yang tak dapat dihitung jumlahnya dari Saadah Bani Alawy. Hal tersebut dapat diketahui oleh orang yang melihat perjalanan-perjalanan hidup mereka dan membaca sejarah hidup mereka."
Beliau masih terus melanjutkan kalamnya, "Sesungguhnya thariqah Bani Alawy adalah sekokoh-kokohnya dan selurus-lurusnya jalan. Perjalanan kehidupan mereka adalah sebaik-baiknya perjalanan dan seindah-indahnya suri tauladan. Sesungguhnya mereka berjalan pada suatu thariqah yang lurus, terang, jernih dan selamat."
Beliau juga berkata, "Tidak sepantasnya bagi seorang dari keturunan Bani Alawy untuk memilih jalan di luar jalan yang sudah ditempuh oleh para pendahulunya. Tidak sepantasnya ia berpaling dari thariqah dan siroh mereka3. Mereka bahkan harus sebaliknya, mengikuti dan bahkan berusaha menarik orang yang mengaku sudah mendapatkan jalan di luar jalan yang ditempuh olehnya dan oleh keluarga Bani Alawy. Hal ini dikarenakan thoriqah mereka telah disaksikan nilai kebenarannya oleh Al-Qur'an, As-Sunnah, jejak-jejak sholihin dan perjalanan para Salafus Sholeh. Itu semua terjadi karena mereka (keluarga Bani Alawy) menerima thariqah tersebut generasi dari generasi sebelumnya, ayah dari kakeknya, dan terus begitu sampai kepada baginda Nabi SAW4. Kedudukan (maqam) mereka bertingkat-tingkat (di sisi Allah), ada yang utama dan ada yang lebih utama, ada yang sempurna dan ada yang lebih sempurna."
[Diambil dari kitab Al-Ilm An-Nibroos, karya Al-Habib Abdullah bin Alawy Al-Atthas]

1. Ilmu dhahir adalah ilmu yang orientasinya pada panca indera. Sedangkan ilmu bathin adalah ilmu yang orientasinya pada hati.
2. Ilmu thariqah adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana manusia ini dapat menjalani hidup ini sebagai hamba Allah yang baik. Sedangkan ilmu haqiqah adalah ilmu yang dengannya seseorang dapat menyingkap filosofi dan menemukan hakekat dari kemahaagungan Allah, sang pencipta alam.
3. Sungguh amat disayangkan orang yang bernasabkan ke Bani Alawy, tapi ia tidak berjalan pada thariqah salafnya dan memilih jalan lain yang justru bertentangan dengan jalan pendahulunya. Berkata Sayyiduna Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Ja'far bin Ahmad bin Zein Alhabsyi, "Qodho (ketetapan) itu tidak dapat dipungkiri, dan syariat harus diikuti tanpa dikurangi dan ditambahi. Para imam kita keluarga Bani Alawy telah melintasi jalur yang mulus dan jalan yang lurus. Barangsiapa yang mencari aliran baru untuk dirinya sendiri atau untuk putra-putrrinya dengan cara tidak menempuh di jalan para datuk-datuknya yang saleh dan mulia, maka pada akhir umurnya ia akan menemui kekecewaan dan kebinasaan."
4. Beliau, Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad, menuliskan tentang hal ini dalam 2 bait dari syairnya yang terkenal dengan Al-Ainiyyah. Disana beliau berkata, "Mereka mengikuti jejak Rasulullah dan para sahabatnya, serta para tabi'in, maka berjalanlah kamu dan ikutilah mereka. Mereka berjalan menuju suatu jalan kemuliaan, generasi demi generasi dengan begitu kokohnya."

AL-IMAM ALI ZAINAL ABIDIN

AL-IMAM ALI ZAINAL ABIDIN
(Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW)
Beliau adalah Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau dijuluki dengan julukan Abal Hasan atau Abal Husain. Beliau juga dijuluki dengan As-Sajjad (orang yang ahli sujud). Beliau adalah seorang yang ahli ibadah dan panutan penghambaan dan ketaatan kepada Allah. Beliau meninggalkan segala sesuatu kecuali Tuhannya dan berpaling dari yang selain-Nya, serta yang selalu menghadap-Nya. Hati dan anggota tubuhnya diliputi ketenangan karena ketinggian makrifahnya kepada Allah, rasa hormatnya dan rasa takutnya kepada-Nya. Itulah sifat-sifat beliau, Al-Imam Ali Zainal Abidin.
Beliau dilahirkan di kota Madinah pada tahun 33 H, atau dalam riwayat lain ada yang mengatakan 38 H. Beliau adalah termasuk generasi tabi'in. Beliau juga seorang imam agung. Beliau banyak meriwayatkan hadits dari ayahnya (Al-Imam Husain), pamannya Al-Imam Hasan, Jabir, Ibnu Abbas, Al-Musawwir bin Makhromah, Abu Hurairah, Shofiyyah, Aisyah, Ummu Kultsum, serta para ummahatul mukminin/isteri-isteri Nabi SAW (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau, Al-Imam Ali Zainal Abidin, mewarisi sifat-sifat ayahnya (semoga Allah meridhoi keduanya) di didalam ilmu, zuhud dan ibadah, serta mengumpulkan keagungan sifatnya pada dirinya di dalam setiap sesuatu.
Berkata Yahya Al-Anshari, "Dia (Al-Imam Ali) adalah paling mulianya Bani Hasyim yang pernah saya lihat." Berkata Zuhri, "Saya tidak pernah menjumpai di kota Madinah orang yang lebih mulia dari beliau." Hammad berkata, "Beliau adalah paling mulianya Bani Hasyim yang saya jumpai terakhir di kota Madinah." Abubakar bin Abi Syaibah berkata, "Sanad yang paling dapat dipercaya adalah yang berasal dari Az-Zuhri dari Ali dari Al-Husain dari ayahnya dari Ali bin Abi Thalib." Kelahiran beliau dan Az-Zuhri terjadi pada hari yang sama. Sebelum kelahirannya, Nabi SAW sudah menyebutkannya. Beliau shalat 1000 rakaat setiap hari dan malamnya. Beliau jika berwudhu, pucat wajahnya. Ketika ditanya kenapa demikian, beliau menjawab, "Tahukah engkau kepada siapa aku akan menghadap?." Beliau tidak suka seseorang membantunya untuk mengucurkan air ketika berwudhu. Beliau tidak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik dalam keadaan di rumah ataupun bepergian. Beliau memuji Abubakar, Umar dan Utsman (semoga Allah meridhoi mereka semua). Ketika berhaji dan terdengar kalimat, "Labbaikallah...," beliau pingsan.
Suatu saat ketika beliau baru saja keluar dari masjid, seorang laki-laki menemuinya dan mencacinya dengan sedemikian kerasnya. Spontan orang-orang di sekitarnya, baik budak-budak dan tuan-tuannya, bersegera ingin menghakimi orang tersebut, akan tetapi beliau mencegahnya. Beliau hanya berkata, "Tunggulah sebentar orang laki-laki ini." Sesudah itu beliau menghampirinya dan berkata kepadanya, "Apa yang engkau tidak ketahui dari diriku lebih banyak lagi. Apakah engkau butuh sesuatu sehingga saya dapat membantumu?." Orang laki-laki itu merasa malu. Beliau lalu memberinya 1000 dirham. Maka berkata laki-laki itu, "Saya bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar cucu Rasulullah." Beliau berkata, "Kami ini ahlul bait, jika sudah memberi, pantang untuk menginginkan balasannya."
Beliau sempat hidup bersama kakeknya, Al-Imam Ali bin Abi Thalib, selama 2 tahun, bersama pamannya, Al-Imam Hasan, 10 tahun, dan bersama ayahnya, Al-Imam Husain, 11 tahun (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau setiap malamnya memangkul sendiri sekarung makanan diatas punggungnya dan menyedekahkan kepada para fakir miskin di kota Madinah. Beliau berkata, "Sesungguhnya sedekah yang sembunyi-sembunyi itu dapat memadamkan murka Tuhan."
Muhammad bin Ishaq berkata, "Sebagian dari orang-orang Madinah, mereka hidup tanpa mengetahui dari mana asalnya penghidupan mereka. Pada saat Ali bin Al-Husain wafat, mereka tak lagi mendapatkan penghidupan itu."
Beliau jika meminjamkan uang, tak pernah meminta kembali uangnya. Beliau jika meminjamkan pakaian, tak pernah meminta kembali pakaiannya. Beliau jika sudah berjanji, tak mau makan dan minum, sampai beliau dapat memenuhi janjinya. Ketika beliau berhaji atau berperang mengendarai tunggangannya, beliau tak pernah memukul tunggangannya itu. Manaqib dan keutamaan-keutamaan beliau tak dapat dihitung, selalu dikenal dan dikenang, hanya saja kami meringkasnya disini. Beliau meninggal di kota Madinah pada tanggal 18 Muharrom 94 H, dan disemayamkan di pekuburan Baqi', dekat makam dari pamannya, Al-Imam Hasan, yang disemayamkan di qubah Al-Abbas. Beliau wafat dengan meninggalkan 11 orang putra dan 4 orang putri. Adapun warisan yang ditinggalkannya kepada mereka adalah ilmu, kezuhudan dan ibadah.
Radhiyallohu anhu wa ardhah...
[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]
KAJIAN KEENAM
Mereka (para Saadatunal Alawiyyin) selalu menafkahkan hartanya, tidak menahannya pada saat harta tersebut pertama kali didapatkannya dan tidak mengumpulkannya pada saat harta tersebut ada pada mereka. Mereka selalu melayani sendiri tamu-tamunya. Mereka seringkali makan bersama pembantu dan budaknya, dan membawa sendiri barang belanjaannya dari pasar. Mereka tak pandang bulu menyalami orang kaya, miskin, orang berkelas ataupun tak berkelas. Mereka selalu memberikan salam kepada siapa saja yang ditemuinya dan mereka tidak memandang ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah, walaupun kedudukan mereka itu sudah begitu tingginya. Bahkan mereka menganggap dirinya pantas untuk menerima siksaan, karena mereka merasa ada sesuatu yang kurang pantas dalam berhubungan dengan Allah. Dan setiap kedudukan mereka semakin tinggi di sisi Allah, mereka justru semakin menganggap bahwa dirinya lebih hina dari makhluk Allah yang lain, padahal sebaliknya kedudukan mereka sudah mencapai kedekatan dalam menyaksikan kemahabesaran Allah. Itu semua berhasil mereka dapatkan setelah mereka berusaha untuk berakhlak yang luhur dan mempelajari berbagai ilmu. Jika mereka dilihat sedang dalam keadaan berdzikir kepada Allah, maka melihat kepada mereka itu dapat membawa seseorang untuk juga ikut berdzikir. Mengenai sifat-sifat mereka, berkata pengarang kitab Al-Masyra' Ar-Rowiy (Pengarang kitab Al-Masyra' Ar-Rowiy adalah Al-Habib Muhammad bin Abubakar bin Ahmad Asy-Syiliy. Beliau meninggal pada tahun 1093 H di kota Makkah), di dalam menyebutkan jalan tasawuf yang mereka jalani, "Demi Allah, sungguh para salaf kita, Bani Alawy (semoga Allah meridhoi mereka), menjalani jalan tasawuf, mengamalkan ilmu mereka, dan mencurahkan waktunya yang berharga untuk menjauhi hal-hal yang dapat mempersulit mereka di dalam mengikuti sunnah Nabi SAW dan mengamalkannya. Dan setiap kali seseorang itu mengamalkan suatu sunnah, maka Allah akan mempermudahnya untuk mengamalkan sunnah yang lainnya yang belum ia amalkan. Berkata Al-Junaid (Yang dimaksud Al-Junaid disitu adalah Al-Imam Al-Junaid bin Muhammad Az-Zujaaj, seorang wali agung dan terkenal dengan sebutan Sayyid Ath-Thaaifah (pemuka ahli sufi. Beliau dilahirkan di Baghdad dan meninggal disana pada tahun 297/298 H.) (semoga Allah meridhoinya), 'Melakukan suatu kebaikan setelah melakukan kebaikan yang lain adalah termasuk balasan dari kebaikan pertama yang ia kerjakan. Begitu juga berbuat kejahatan setelah melakukan kejahatan yang lain adalah termasuk akibat dari kejahatan pertama yang ia lakukan.'.
Oleh karena itu mereka (Saadatunal Alawiyyin) berusaha melakukan suatu kebaikan sekuat mungkin dan sesuai dengan karunia-karunia yang Allah telah berikan kepada mereka sebelumnya." Berkata Sayyidina Al-Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad, "Sesungguhnya Sayyidi Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja'far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir (semoga Allah meridhoi mereka semua), ketika melihat berbagai bid'ah, bertebarnya hawa nafsu dan pertentangan pendapat di Irak, mereka memutuskan hijrah dari sana, berpindah-pindah tempat, sampai menginjakkan kakinya di Hadramaut, dan akhirnya memutuskan untuk menetap disana sampai akhir hayatnya. Disanalah beliau banyak menurunkan anak cucunya yang terkenal dengan ilmu, ibadah, kewalian dan makrifahnya mereka kepada Allah. Tidak masuk kepada mereka bid'ah-bid'ah dan pemuasan hawa nafsu, yang kesemuanya itu berkat jasa beliau dan berkat larinya beliau dari tempat asalnya demi untuk menjaga agamanya dari tempat-tempat berjangkitnya fitnah. Semoga Allah membalas jasanya dengan sebaik-baiknya dan meninggikan derajatnya bersama pendahulunya yang mulia di surga yang tertinggi. Serta semoga Allah juga mengumpulkan kita bersama mereka di dalam kebaikan dan afiah, tidak menjadikan kita sebagai orang-orang yang merubah jalan mereka, tidak berbuat fitnah dan selamat dari fitnah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengasih."
[Diambil dari kitab Al-Ilm An-Nibroos, karya Al-Habib Abdullah bin Alawy Al-Atthas]
KAJIAN KEEMPAT
Jika mereka (para Saadatunal Alawiyyin) mendapatkan kesulitan (dari permasalahan agama), maka mereka mengikuti pendapat para ulama yang membahas masalah tersebut, lalu mengkajinya, sehingga mereka dapat mendudukkan permasalahan itu pada tempatnya dan menerangkannya. Jika mereka ragu-ragu terhadap permasalahan tersebut, maka mereka mengembalikannya kepada fatwa seorang yang layak memberi fatwa, dan mereka mengakui ketidakmampuannya dengan mengembalikannya kepada kebenaran.
Mereka mempunyai perhatian yang mendalam terhadap kitab-kitab karya Al-Imam Al-Ghazaly, terutama kitab Al-Ihya, Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiiz dan Al-Kholashoh. Mereka juga menaruh perhatian yang mendalam terhadap Hadits, sehingga banyak di antara mereka yang sampai pada derajat Al-Huffadz. (Huffadz adalah julukan bagi orang yang banyak menghafalkan hadits). Ketika orang-orang akhir jaman pada jaman mereka melihat apa-apa yang pernah diperingatkan oleh Rasulullah SAW daripada tanda-tanda yang sudah terjadi pada jaman sebelumnya seperti belajar tanpa mau mengamalkan, mencari pengetahuan hanya untuk kepentingan dunia, banyak orang-orang kikir yang ditaati, banyak mengikuti hawa nafsu, menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, banyaknya perbuatan keji yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, dan lain sebagainya yang pernah dikatakan di dalam suatu Hadits, maka mereka meninggalkan perbuatan memberi fatwa, memberikan pengajaran dan mengarang, dan mereka lebih suka menjaga diri mereka (dari fitnah akhir jaman). Mereka menganggap hal itulah yang terpenting. Itulah hakekat yang sebenarnya daripada pengamalan hadits-hadits Nabi dan hal itu lebih utama daripada sekedar meriwayatkan hadits (Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad dalam bukunya yang berjudul Ad-Da'wah At-Tammah menulis suatu maqalah yang berbunyi "Lisaanul haal afshoh min lisaanil maqol" ("Lisan pengamalan lebih fasih daripada lisan perkataan").
Mereka saling menolak untuk memberi fatwa karena besarnya ketakwaan mereka. Jika mereka ditanya dengan pertanyaan yang banyak, mereka lebih suka dengan menjawabnya dengan secukupnya. Mereka lebih memilih suatu amalan-amalan yang paling berat dan paling utama. Mereka berusaha bersungguh-sungguh untuk keluar dari perselisihan di antara para ulama (Sikap ini berkenaan dengan perbedaan para ulama dalam masalah agama). Mereka sering menyembunyikan ibadah mereka karena takut akan riya. Jika salah seorang di antara mereka berbicara untuk memberikan nasehat atau yang selainnya dan mereka takut terkena riya, mereka lalu membawa pembicaraannya kepada sesuatu yang dapat terhindar dari riya. Jika mereka meneteskan airmata ketika membaca Al-Qur'an, Hadits atau nasehat, maka mereka menutupinya dengan senyuman4 (Ini biasa sering mereka lakukan bila mereka berada di tengah-tengah majlis. Mereka takut jika airmatanya yang menetes itu terlihat orang lain di majlis tersebut, lalu dalam diri mereka timbul riya. Oleh karena itu, biasanya mereka menutupinya dengan berpura-pura tersenyum atau menahan sebisa mungkin agar airmatanya tak menetes. Radhiyallahu 'anhum ajmain).
KAJIAN KELIMA
Mereka (para Saadatunal Alawiyyin) tidak membuat dirinya tercela di hadapan umum. Mereka tidak suka ditanya tentang amal perbuatan yang mereka lakukan dan mereka juga tidak suka menanyakan amal perbuatan orang lain (Suatu kali para sahabat membicarakan seseorang yang setiap kali sehabis shalat di masjid, ia buru-buru pergi. Para sahabat mengadukan hal ini ke Rasulullah SAW. Beliau SAW bertanya, "Benarkah ia selalu menunaikan kewajiban shalatnya?." Para sahabat menjawab, "Iya, betul." Beliau SAW berkata, "Barangsiapa yang ingin melihat seseorang dari calon penghuni surga, maka lihatlah orang tersebut." Demikian juga para Saadah kita, pantang bagi mereka untuk menanyakan amalan orang lain seperti dengan bertanya, "Engkau shalat tahajud apa tidak?", "Engkau puasa Senin-Kamis apa tidak?", atau "Engkau bersedekah apa tidak?." Mereka juga tidak suka ditanyai tentang amalan-amalan mereka dan lebih suka menyembunyikannya). Jika sampai kepada mereka suatu berita bahwa seseorang dari pejabat pemerintahan berkeinginan berkunjung ke majlisnya, mereka akan menutup majlisnya itu2 (Hal ini sudah menjadi darah daripada thariqah Saadah kita yang menggariskan untuk tidak dekat-dekat dengan wilayah kekuasaan. Al-Habib Abdullah bin Alwi di dalam bukunya Ad-Da'wah At-Tammah berkali-kali menegaskan hal ini. Hubungan antara mereka dan sumber kekuasaan tidak lain adalah hubungan amar ma'ruf nahi munkar). Jika orang-orang tersebut tiba-tiba sudah terlanjur datang di majlisnya, mereka tidak menyukainya dan akan mempersingkat majlisnya.
Mereka adalah orang-orang yang berzuhud dari dunia (Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata tentang zuhud, "Zuhud itu bukanlah tidak memiliki sesuatu, akan tetapi zuhud itu adalah sesuatu berharga yang patut dimiliki." Ada juga yang berkata, "Zuhud itu bukanlah tidak memiliki sesuatu dari dunia, akan tetapi semua yang dimilikinya dari dunia tak berarti apa-apa baginya") dan kepemimpinan, bersikap qona'ah, dengan merasa cukup di dalam hal pakaian, makanan dan tempat tinggal. Mereka tidak membangun tempat tinggal kecuali yang diperlukan saja. Mereka tidak suka menerima pemberian apapun dari penguasa dan staf-stafnya, meskipun mereka sendiri memerlukannya. Bahkan mereka merasa berkecukupan dengan sepotong roti yang halal atau sebuah kurma. Jika mereka tidak mempunyainya, mereka lebih memilih berpuasa, sampai mereka mendapatkannya yang halal. Mereka tidak bergembira jika mendapatkan harta dan tidak bersedih jika kehilangan harta. Seringkali terjadi jiwa mereka merasa lega jika harta itu pergi dari mereka. Sebagian dari mereka terkadang satu dua bulan tidak makan apa-apa kecuali kurma. Terkadang mereka hidup tanpa dapat berganti-ganti pakaian dalam waktu yang panjang.
Mereka tidak suka memaksa keluarganya untuk memasakkan makanan baginya. Mereka tidak pernah mengendarai kuda, tidak memakai pakaian mewah, tidak memakan makanan yang lezat, tidak duduk diatas kursi dan tidak tinggal pada bangunan yang mewah, kecuali (ya Allah, semoga saja demikian) mereka memastikannya halal. Adakalanya mereka mengenakannya jarang-jarang, atau mengenakan apa-apa yang tidak akan menjadi hisab di hadapan Allah, bahkan adakalanya juga baju yang mereka kenakan lebih mahal daripada bajunya raja-raja. Mereka tidak suka menimbun makanan, karena semata-mata ingin mengosongkan tangannya dari dunia. Terkadang sebagian dari mereka menyimpan makanan untuk kepentingan keluarganya, demi semata-mata ingin mengikuti perbuatan Nabi SAW atau juga sebagai penenang jiwanya karena rasa gelisah atau tuduhan yang adakalanya terjadi atau juga karena kuatir disangka rejekinya didapatkannya dari jalan kasyaf4 Maksudnya dari jalan kasyaf disitu adalah rejeki tersebut diperolehnya dari berkat ketinggian maqamnya, sehingga Allah langsung memberinya turun dari langit, tanpa berusaha. Meskipun itu semua bisa mereka lakukan, akan tetapi mereka lebih suka mengikuti datuk mereka yang mulia SAW yang masih berusaha untuk memberi nafkah keluarganya). Setiap dari mereka mengutamakan mencari rejeki yang halal untuk memenuhi keperluan-keperluannya. Mereka juga menafkahkan hartanya untuk memberi makan orang yang lapar, memberi pakaian orang yang tak berpakaian dan melunasi hutang orang yang tak sanggup membayar hutangnya.
KAJIAN KETIGA
Berkata Sayyidunal Imam Al-Qutub Ali bin Abubakar (yaitu Al-imam Al-Qutub Ali bin Abubakar As-Sakron bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maulad Dawilah. Beliau dilahirkan pada tahun 818 H. Pada saat kelahirannya, kakeknya, Al-Imam Al-Muqaddam Ats-Tsani Abdurrahman bin Muhammad Assegaf berkata, "Telah datang pada malam ini kepada putraku Abubakar seorang anak yang suci." Beliau, Al-Imam Ali bin Abubakar, adalah seorang wali besar di jamannya. Berkata Asy-Syeikh Ibrahim bin Muhammad Bahurmuz Asy-Syibami, "Kalau seandainya Asy-Syeikh Ali bin Abubakar bukan seorang qutub (pemimpin para wali) pada jamannya, maka tidak akan ada lagi qutub di muka bumi ini." Beliau wafat pada hari minggu, 12 Muharam, tahun 895 H, pada usia 77 tahun) di dalam kitabnya yang berjudul Al-Barqah Al-Musyiiqah yang menyebutkan sifat mereka (Saadatunal Alawiyyin) dan mengenalkan atribut mereka : "Adapun keturunan Al-Imam Ahmad bin Isa, (yaitu Al-Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir, yang berhijrah dari Irak ke Hadramaut, guna menyelamatkan keluarganya dari cengkeraman fitnah-fitnah yang dilakukan oleh para ahlil bid'ah)mereka datang ke Hadramaut dan menetap di kota Tarim. Kota Tarim adalah tempat tinggal yang mereka. Mereka adalah para tokoh mulia yang berpekerti luhur, berakhlak tinggi, berperilaku terpuji, berjiwa mulia, bertekad tinggi, dan berketetapan hati. Mereka adalah para tokoh yang secara naluri memang mempunyai sifat rendah hati dan berkepribadian mulia.
Mereka mempunyai rasa cinta yang kuat dan rasa kasih-sayang yang dalam kepada kebaikan dan pelakunya. Dengan itu mereka menghapuskan atribut mereka dan menghilangkan hawa nafsu mereka, dan mereka lebih mengorbankan diri mereka sendiri untuk orang lain, walaupun mereka sendiri sebenarnya membutuhkannya. Secara garis besar, mereka rela meninggalkan hak-hak mereka di dalam banyak hal, menghapus pandangan terhadap diri mereka, dan menegakkan hak-hak orang lain, serta mereka sama sekali tidak mengeluh tentang hal ini dan tidak juga dianggap telah banyak berbuat baik."
Dalam kesempatan lain, beliau juga berkata tentang keluarga Abi Alawy : "Banyak di antara mereka menjadi para fugaha, ulama dan imam. Di antara mereka terdapat para tokoh yang mulia, seperti para qutub, autad, abdal (Qutub, autad dan abdal adalan tingkatan kedudukan para wali Allah. Yang paling tinggi di antara mereka adalah qutbul ghauts (pemimpin para wali). Di setiap jaman terdapat hanya satu qutbul ghauts. Di bawahnya adalah tingkatan qutub. Dibawahnya lagi ada tingkatan autad. Dibawahnya lagi ada tingkatan abdal. Dan demikian seterusnya kedudukan mereka bertingkat-tingkat sesuai mujahadah mereka kepada Allah. Mereka semua biasa kita mengenalnya dengan sebutan para auliyaillah), ahli ibadah, auliya dan pemuka agama. Mereka berpaling dari yang selain Allah. Kalbu-kalbu mereka mereka tenggelam dalam rasa cinta kepada Allah. Hingga dikatakan bahwa telah terkumpul di dalam diri mereka kesempurnaan kemuliaan nubuwwah, dan kemuliaan nasab yang terpilih, serta kemuliaan kesucian dan kemurniaan dari segala macam bid'ah dan kejahatan cengkeraman harta. Mereka dengan sempurna mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah, disertai dengan akidah yang lurus. Terkumpul pada diri mereka manfaat-manfaat dan kecenderungan kepada apa-apa yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW dan asrar beliau. Di dalamnya tak luput dari apa-apa yang telah diwariskan oleh Nabiyallah Isa, Nabiyallah Musa, Nabiyallah Ibrahim dan warisan-warisan kenabian."
Mereka (Saadatunal Alawiyyin), semoga Allah meridhoi mereka, bersungguh-sungguh secara sempurna di dalam melaksanakan ibadah-ibadah, disertai dengan meninggalkan adat-istiadat (Tentunya adat-istiadat yang dimaksud disana adalah adat-istiadat yang bertentangan dengan syariah. Sedangkan adat-istiadat yang sejalan dengan syariah, maka seharusnyalah tidak ditinggalkan. Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan dalam suatu maqalah dan dinukil oleh Habib Abdullah bin Husin Bin Thahir Ba'alawy dalam majmu' (kumpulan) kalamnya, "Tarkul 'aadah 'adaawah (meninggalkan adat itu dapat mendatangkan permusuhan) dan nafsu syahwat. Bilamana tiba waktu malam, mereka tegak di atas kaki-kaki mereka, menundukkan wajah-wajah mereka diatas tanah, serta berlinangan airmata. Jika salah seorang di antara mereka sudah menginjak dewasa, dilipatlah hamparan tidurnya.
Mereka menjauhi pergaulan dengan masyarakat, kecuali untuk suatu hajat atau darurat. Dan jika terpaksa bergaul dengan mereka, mereka bergaul secara hati-hati agar tidak berselisih dengan mereka. Jika salah seorang di antara mereka (Saadatunal Alawiyyin) sakit dan tidak ada seorang pun yang menjenguknya, maka mereka menganggapnya itu adalah suatu keutamaan. Jika dalam suatu hari mereka tidak bertemu dengan seorang pun, mereka menganggap itu adalah suatu hari raya. Sebagian dari mereka lebih memilih pergi ke gunung-gunung dan lembah-lembah untuk beribadah disana siang dan malam. Sebagian dari mereka pergi kesana hanya pada waktu malam hari dan pada dini harinya mereka sudah berada di rumahnya, seolah mereka tidur di rumahnya sendiri. Sebagian dari mereka pergi kesana pada siang hari dan kembali ke keluarganya pada malam harinya, tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Dengan kebiasaan itu, mereka tetap menjalankan shalat jum'at dan shalat jama'ah di awal waktunya, kecuali kalau ada udzur syar'i (Udzur syar'i adalah halangan yang diperbolehkan oleh syariah) . Sebagian dari mereka menghabiskan waktu siangnya untuk dengan mengajar dan memberikan petuah-petuah agama. Mereka menghabiskan seluruh waktunya untuk memberikan kemanfataan kepada manusia, waktu demi waktu
KAJIAN KEDUA
Secara garis besar, sebagian dari perilaku mereka (saadaatuna Al-Alawiyyin) adalah menyibukkan diri dengan ilmu dan menuntutnya, tekun mengkaji kitab-kitab ilmu, bersungguh-sungguh dalam memetik hasil dari ilmu-ilmu itu, dan menjaga cabang-cabangnya dan pokok-pokoknya. Sebagian dari mereka itu tekun senantiasa membaca kitab satu jilid tebal dalam sehari semalam. Sebagian dari mereka menghabiskan membaca kitab Ihya' (Yang dimaksud kitab Ihya' disitu adalah kitab Ihya' Ulumiddin, karangan Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazali. Dalam pandangan para aimmah (pemuka) salaf kita, kitab Ihya' menjadi suatu bacaan wajib bagi para Alawiyyin. Berkata salah seorang pemuka dari mereka, Al-Imam Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saggaf, "Barangsiapa yang tidak pernah membaca kitab Ihya', maka ia tak mempunyai rasa malu." Demikian juga dengan yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Abu Bakar Al-Aidrus, "Bagus, bagus, bagus, bagus, bagi seseorang yang menjadikan kitab Ihya' sebagai keluarganya, hartanya dan tanah airnya." Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad menambahkan, "Dengan Ihya' Ulumiddin, hati kita dapat menjadi hidup") satu jilid setiap harinya.
Sebagian dari mereka mengharuskan dirinya membaca sesuatu, sebagian dengan nadzar. Sebagian dari mereka seringkali melakukan perjalanan ke tempat-tempat jauh untuk menuntut ilmu. Sebagian besar dari perhatian mereka (tentang ilmu) adalah ilmu-ilmu yang mempelajari tentang Al-Qur'an, As-Sunnah dan tasawuf, khususnya kitab At-Tanbih, Al-Muhadzdzab, kitab-kitab karangan Al-Imam Al-Ghazali dan karangan Al-Imam Muhyiddin An-Nawawi, serta karangan orang-orang mendapat keuntungan dengan ilmu-ilmu tersebut. Sebagian dari mereka, bahkan sebagian besar, berdakwah mengajak manusia menuju jalan kebenaran di setiap kesempatan, setelah menguatkan amalan mereka (Sudah merupakan prasyarat bagi mereka bahwa mereka harus berdakwah terhadap diri sendiri sebelum mereka berdakwah kepada orang lain. Sehingga dakwah mereka dapat memberi kesan yang mendalam kepada orang lain...suatu dakwah yang jujur dan penuh dengan kejujuran).
Sebagian dari mereka mengikatkan dirinya untuk berdakwah melalui majlis-majlis dan melakukan perjalanan dakwah keliling meliputi seluruh desa dan kota, disertai dengan budi pekerti yang luhur dan amalan-amalan yang terpuji, serta kesabaran yang tinggi dalam menghadapi masyarakat, baik yang khusus maupun yang awam (Dakwah merupakan suatu kewajiban yang mereka emban sebagai konsekuensi nikmat nasab yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Sehingga mereka gemar sekali melakukan perbuatan dakwah, baik dengan perbuatan, perkataan ataupun dengan sikap. Berkenaan dengan keagungan tugas dakwah ini, Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz pernah berkata, "Tidak ada suatu perbuatan baik yang dapat meninggikan derajat kedudukan seseorang di sisi Allah secepat perbuatan dakwah).
Sebagian orang-orang kaya dari mereka gemar dalam membangun kemakmuran masjid-masjid, semata-mata karena keinginannya yang kuat untuk mendapatkan keutamaan dalam hal itu, sebagaimana yang ada di dalam Hadits. Sehingga sebagian dari mereka banyak mendirikan dan memakmurkan masjid-masjid, dan mewakafkan sisa-sisa hartanya untuk kemakmuran masjid, serta memberikan di masjid-masjid itu penerangan. Sebagian besar dari mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk beriktikaf di dalam masjid.
Benang merah dari semuanya itu adalah bahwa sesungguhnya thariqah mereka (saadaatuna Al-Alawiyyin), semoga Allah meridhoi mereka, adalah membagi waktu-waktu mereka dan mengisinya dengan berbagai macam ibadah, hadir dalam majlis-majlis ilmu, adab, dan membaca wirid dan hizib. Sebagian dari mereka mengumpulkan doa dan dzikir untuk mereka baca secara rutin sehari semalam. Kebanyakan yang sering mereka baca adalah doa-doa Nabawiyyah (Doa-doa Nabawiyyah adalah doa-doa yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW) dan doa-doa yang diwariskan oleh para salafus sholeh. Sebagian dari mereka membaca ratib-ratib pada hari Jum'at dengan lafadz jama' (umum), demi mengharap kemanfataan dan memberi kemanfataan. Sebagian dari mereka mengumpulkan masyarakat luas untuk bertasbih seribu (Sebagian di antara ahli sastra Arab mengatakan bahwa lafadz alf (seribu) dalam bahasa arab menunjukkan makna banyaknya sesuatu. Selain itu, dalam sastra Arab, makna banyaknya sesuatu juga seringkali ditunjukkan dengan lafadz sab'uun (tujuh puluh) tasbih, bertahlil seribu tahlil, dan menghadiahkan pahalanya buat orang-orang yang telah mendahului mereka. Sedangkan puncak tujuan mereka (dengan hal itu) adalah mengharapkan karunia dari setiap orang (yang telah mendahuluinya itu) yang di dalam diri mereka itu terdapat bekas-bekas kebaikan (Dalam pandangan mereka, selama seseorang itu min ahli laa ilaaha illallah (muslim), ia mempunyai bekas-bekas kebaikan. Oleh karena itu, sikap husnudz dzon (berbaik sangka) terhadap hamba Allah merupakan sikap dasar yang melandasi thariqah mereka)
Kebanyakan dari mereka, bahkan sebagian besar, lebih mengutamakan ber-uzlah (Uzlah adalah mengasingkan diri dari berbagai macam tingkah pola manusia, semata-mata karena takut dan kuatir terpengaruh keburukan dari mereka. Namun demikian, mereka melakukan demikian setelah mereka tahu tentang syariah agama, sehingga mereka dapat menempatkan uzlah itu pada suatu tempat yang proporsional) dan tidak menyukai terkenal dan kemasyhuran. Telah mengisyaratakan dalam masalah ini, seorang yang sangat terkenal dan masyhur, sayyidina Asy-Syeikh Abu Bakar Al-Aidrus, dengan perkataannya, "Duh, andaikata saja kami tidak mengenal seorang pun dan tidak seorang pun mengenal kami, dan kami tidak dilahirkan." Sebagian dari mereka lebih mengutamakan dirinya dengan merendahkan diri dan hidup sederhana, sehingga orang lain yang tidak mengenalnya dan menyangka mereka adalah orang kaya yang tidak butuh bantuan keduniaan sedikit pun dari orang lain. Mereka (saadaatuna Al-Alawiyyin) puas dengan keduniaannya yang sedikit dan perbekalannya yang amat sederhana...tertutup dalam keterasingan...tak tampak keadaannya sampai hampir tak kelihatan.
Telah berkata dalam suatu syairnya, seorang yang sangat mendalam keilmuannya, sayyidina Al-Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad, dalam mensifatkan mereka (saadaatuna Al-Alawiyyin) yang mulia :
Yang miskin dari mereka merdeka dan yang berharta berinfaq, semata-mata mengharap balasan Allah dalam menempuh jalan-jalan yang baik. Pakaian mereka adalah takwa, dan perangai mereka adalah sikap malu, sedangkan tujuan mereka di dalam perkataan dan perbuatan adalah Yang Maha Pengasih. Perkataan mereka adalah kebenaran, dan perbuatan-perbuatan mereka adalah suatu petunjuk, sedangkan rahasia-rahasia amal mereka adalah terbebas dari tipu daya. Mereka tunduk kepada Tuhan mereka, taat karena ikhlas kepada-Nya, patuh kepada Yang Maha Suci, yang tiada persamaan bagi-Nya

KAJIAN TENTANG THARIQAH BANI ALAWIYYAH

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ


KAJIAN PERTAMA

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Hanya kepada-Nya kami memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama. Kesudahan yang baik hanyalah bagi orang-orang yang bertakwa. Dan tidak ada permusuhan kecuali atas orang-orang yang berbuat zalim. Shalawat dan salam yang sempurna dan menyeluruh semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Muhammad, pemuka keturunan Adnan, dan juga semoga terlimpahkan kepada para keluarga dan sahabat-sahabat beliau yang arif.
Amma ba'du. Sesungguhnya mengetahui thariqah para salaf adalah termasuk keharusan yang sangat. Dan menyimpang kepada selainnya dari jalan-jalan lain yang beraneka ragam perpecahannya adalah merupakan suatu kebinasaan dan kerugian. Oleh karena itu aku disini ingin menghiasi kitab Sabiil Al-Muhtadiin fi Dzikr Ad-iyah Ashaab Al-Yamiin (Kitab Sabiil Al-Muhtadiin fi Dzikr Ad-iyah Ashaab Al-Yamiin adalah merupakan kitab yang disusun oleh beliau sendiri yang didalamnya banyak berisi dzikir, wirid dan shalawat, yang berasal dari para auliyaillah. Kitab ini sangat terkenal di kalangan salaf kita dan merupakan pedoman untuk dipakai sebagai amalan dzikir, wirid dan shalawat. Berkata Asy-Syeikh Muhsin bin Nashir bin Sholeh terhadap kitab ini, "Majmu' ini andaikata dijual/ditukar dengan emas berlian, pastilah si pembelinyalah yang akan beruntung dengan mendapatkan cahaya dan keselamatan pada hari kiamat." ) dengan kitabku yang berjudul Al-Ilm An-Nibroos fi At-Tanbiih Alaa Manhaj Al-Akyaas dengan tujuan agar seorang yang bodoh sepertiku ini dapat mengetahui thariqah para salaf dan apa-apa yang para saadah (Saadah : pemuka, orang-orang mulia, tokoh, panutan atau pemimpin dalam suatu kaum.) yang mulia berjalan diatasnya, khususnya para saadahku Al-Alawiyyin yang tercinta dan cendekia. Maka aku menjadikan kalimatku ini sebagai kalimat pembuka bagi kitab ini. Semoga Allah memberikan taufik menuju kebenaran. Dan sekarang inilah saatnya memulai dalam menggapai tujuan.
Allah Ta'ala berfirman : "Dan sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar menunjukkan kepada jalan yang lurus, jalan menuju Allah yang bagi-Nya segala apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Ketahuilah, hanya kepada Allah-lah kembalinya segala urusan.". Itulah Beliau SAW, pembawa petunjuk dengan cahaya Allah Ta'ala kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-Nya. Untuk siapa saja yang berjalan lebih dahulu diatasnya, maka inayah Allah baginya menuju jalan yang lurus. Itulah jalan yang ditunjukkan oleh suatu ayat : "Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (lain) karena dapat memisahkan kalian dari jalan (lurus) itu." Itulah jalan yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur'an yang berbunyi : "Tidak menyentuhnya suatu kebatilan, baik dari hadapannya maupun dari belakang, diturunkan dari Yang Maha Bijak lagi Maha Terpuji."
Itulah jalan yang diperjelas dalam perkataan, perbuatan dan ketetapan-ketetapan beliau SAW, yang dapat diambil sebagai contoh daripada keadaan-keadaan beliau SAW di dalam perjalanan dan akhlaknya, dan juga daripada para tokoh sahabat dan keluarga beliau, serta para salafus sholeh yang mengikuti mereka dan begitu juga orang-orang yang mengikuti mereka. Sungguh telah menjelaskan semua itu dua orang imam, yaitu Al-Imam Abu Thalib Al-Makky di dalam kitabnya Al-Quut, dan Al-Imam Abul Qasim Al-Qusyairy di dalam kitabnya Ar-Risaalah (Oleh karena itu biasanya kitab Ar-Risaalah karangan Al-Imam Abul Qasim Al-Qusyairy ini terkenal dengan nama Ar-Risaalah Al-Qusyairiyyah.). Dan begitu juga dengan orang-orang yang berjalan mengikuti kedua imam tersebut. Kemudian datanglah Al-Imam Al-Ghazali memerincinya, membaguskannya, menuliskannya, mengklasifikasikannya, menguatkannya dan menjadikannya lebih baik.
Inilah jalan yang ditempuh oleh saadah Bani Alawi yang berasal dari Hadramaut dan bernasabkan ke sayyidina Husain (cucu Nabi SAW). Demikianlah mereka menerimanya dari generasi demi generasi, dari ayah ke ayah, dan mereka mewarisinya dari semenjak Al-Imam Husain, kemudian Al-Imam Ali Zainal Abidin, kemudian Al-Imam Muhammad Al-Bagir, kemudian Al-Imam Ja'far Ash-Shadiq, dan begitulah seterusnya diterima bergenerasi dari pemuka para imam sampai sekarang ini. Dengan demikian dapat diketahui bahwa jalan para Saadah Bani Alawy tiada lain adalah Al-Kitab dan As-Sunnah. Derajat mereka bertingkat-tingkat di sisi Allah dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui dengan apa-apa yang mereka lakukan.
Berkatalah Al-Imam Syaikhul Islam Abdullah bin Ahmad Basaudan di dalam kitabnya Al-Futuuhaat Al-'Arsyiyyah : "Sesungguhnya para saadatunal Al-Alawiyyin (semoga Allah memberikan kemanfaatan kepada kita berkat mereka dan asrar -Kata asrar bentuk jamak dari kata sirr yang berarti rahasia. Kata ini sering dipakai dalam dunia tasawuf, yang mempunyai makna yaitu rahasia kebaikan dan kemuliaan yang dipunyai oleh seseorang atau sesuatu- mereka), kebanyakan dan sebagian besar dari mereka tidak memberikan perhatian, tidak bergiat diri, dan tidak bersungguh-sungguh, kecuali setelah menguatkan ilmu-ilmu muamalat (Ilmu-ilmu muamalat yang dimaksud disini adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Allah dan makhluk-Nya, seperti ilmu tentang bagaimana caranya beribadah kepada Allah, ilmu tentang hukum-hukum Allah, ilmu tentang bagaimana berinteraksi dengan manusia dan sebagainya) secara keilmuan, amal dan perasaan."