Cari Blog Ini

Selasa, 29 Desember 2009

KAJIAN KETIGA
Berkata Sayyidunal Imam Al-Qutub Ali bin Abubakar (yaitu Al-imam Al-Qutub Ali bin Abubakar As-Sakron bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maulad Dawilah. Beliau dilahirkan pada tahun 818 H. Pada saat kelahirannya, kakeknya, Al-Imam Al-Muqaddam Ats-Tsani Abdurrahman bin Muhammad Assegaf berkata, "Telah datang pada malam ini kepada putraku Abubakar seorang anak yang suci." Beliau, Al-Imam Ali bin Abubakar, adalah seorang wali besar di jamannya. Berkata Asy-Syeikh Ibrahim bin Muhammad Bahurmuz Asy-Syibami, "Kalau seandainya Asy-Syeikh Ali bin Abubakar bukan seorang qutub (pemimpin para wali) pada jamannya, maka tidak akan ada lagi qutub di muka bumi ini." Beliau wafat pada hari minggu, 12 Muharam, tahun 895 H, pada usia 77 tahun) di dalam kitabnya yang berjudul Al-Barqah Al-Musyiiqah yang menyebutkan sifat mereka (Saadatunal Alawiyyin) dan mengenalkan atribut mereka : "Adapun keturunan Al-Imam Ahmad bin Isa, (yaitu Al-Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir, yang berhijrah dari Irak ke Hadramaut, guna menyelamatkan keluarganya dari cengkeraman fitnah-fitnah yang dilakukan oleh para ahlil bid'ah)mereka datang ke Hadramaut dan menetap di kota Tarim. Kota Tarim adalah tempat tinggal yang mereka. Mereka adalah para tokoh mulia yang berpekerti luhur, berakhlak tinggi, berperilaku terpuji, berjiwa mulia, bertekad tinggi, dan berketetapan hati. Mereka adalah para tokoh yang secara naluri memang mempunyai sifat rendah hati dan berkepribadian mulia.
Mereka mempunyai rasa cinta yang kuat dan rasa kasih-sayang yang dalam kepada kebaikan dan pelakunya. Dengan itu mereka menghapuskan atribut mereka dan menghilangkan hawa nafsu mereka, dan mereka lebih mengorbankan diri mereka sendiri untuk orang lain, walaupun mereka sendiri sebenarnya membutuhkannya. Secara garis besar, mereka rela meninggalkan hak-hak mereka di dalam banyak hal, menghapus pandangan terhadap diri mereka, dan menegakkan hak-hak orang lain, serta mereka sama sekali tidak mengeluh tentang hal ini dan tidak juga dianggap telah banyak berbuat baik."
Dalam kesempatan lain, beliau juga berkata tentang keluarga Abi Alawy : "Banyak di antara mereka menjadi para fugaha, ulama dan imam. Di antara mereka terdapat para tokoh yang mulia, seperti para qutub, autad, abdal (Qutub, autad dan abdal adalan tingkatan kedudukan para wali Allah. Yang paling tinggi di antara mereka adalah qutbul ghauts (pemimpin para wali). Di setiap jaman terdapat hanya satu qutbul ghauts. Di bawahnya adalah tingkatan qutub. Dibawahnya lagi ada tingkatan autad. Dibawahnya lagi ada tingkatan abdal. Dan demikian seterusnya kedudukan mereka bertingkat-tingkat sesuai mujahadah mereka kepada Allah. Mereka semua biasa kita mengenalnya dengan sebutan para auliyaillah), ahli ibadah, auliya dan pemuka agama. Mereka berpaling dari yang selain Allah. Kalbu-kalbu mereka mereka tenggelam dalam rasa cinta kepada Allah. Hingga dikatakan bahwa telah terkumpul di dalam diri mereka kesempurnaan kemuliaan nubuwwah, dan kemuliaan nasab yang terpilih, serta kemuliaan kesucian dan kemurniaan dari segala macam bid'ah dan kejahatan cengkeraman harta. Mereka dengan sempurna mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah, disertai dengan akidah yang lurus. Terkumpul pada diri mereka manfaat-manfaat dan kecenderungan kepada apa-apa yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW dan asrar beliau. Di dalamnya tak luput dari apa-apa yang telah diwariskan oleh Nabiyallah Isa, Nabiyallah Musa, Nabiyallah Ibrahim dan warisan-warisan kenabian."
Mereka (Saadatunal Alawiyyin), semoga Allah meridhoi mereka, bersungguh-sungguh secara sempurna di dalam melaksanakan ibadah-ibadah, disertai dengan meninggalkan adat-istiadat (Tentunya adat-istiadat yang dimaksud disana adalah adat-istiadat yang bertentangan dengan syariah. Sedangkan adat-istiadat yang sejalan dengan syariah, maka seharusnyalah tidak ditinggalkan. Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan dalam suatu maqalah dan dinukil oleh Habib Abdullah bin Husin Bin Thahir Ba'alawy dalam majmu' (kumpulan) kalamnya, "Tarkul 'aadah 'adaawah (meninggalkan adat itu dapat mendatangkan permusuhan) dan nafsu syahwat. Bilamana tiba waktu malam, mereka tegak di atas kaki-kaki mereka, menundukkan wajah-wajah mereka diatas tanah, serta berlinangan airmata. Jika salah seorang di antara mereka sudah menginjak dewasa, dilipatlah hamparan tidurnya.
Mereka menjauhi pergaulan dengan masyarakat, kecuali untuk suatu hajat atau darurat. Dan jika terpaksa bergaul dengan mereka, mereka bergaul secara hati-hati agar tidak berselisih dengan mereka. Jika salah seorang di antara mereka (Saadatunal Alawiyyin) sakit dan tidak ada seorang pun yang menjenguknya, maka mereka menganggapnya itu adalah suatu keutamaan. Jika dalam suatu hari mereka tidak bertemu dengan seorang pun, mereka menganggap itu adalah suatu hari raya. Sebagian dari mereka lebih memilih pergi ke gunung-gunung dan lembah-lembah untuk beribadah disana siang dan malam. Sebagian dari mereka pergi kesana hanya pada waktu malam hari dan pada dini harinya mereka sudah berada di rumahnya, seolah mereka tidur di rumahnya sendiri. Sebagian dari mereka pergi kesana pada siang hari dan kembali ke keluarganya pada malam harinya, tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Dengan kebiasaan itu, mereka tetap menjalankan shalat jum'at dan shalat jama'ah di awal waktunya, kecuali kalau ada udzur syar'i (Udzur syar'i adalah halangan yang diperbolehkan oleh syariah) . Sebagian dari mereka menghabiskan waktu siangnya untuk dengan mengajar dan memberikan petuah-petuah agama. Mereka menghabiskan seluruh waktunya untuk memberikan kemanfataan kepada manusia, waktu demi waktu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar